Welcome to my blog

Selasa, 06 November 2012

"Janjiku"

“Janjiku”
(Karya:Muhammad Rahman)
Langit begitu gelap, malampun terasa sunyi. Disekitarku hanya segerombolan jangkrik yang suaranya begitu keras, berteriak dan mengejekku seakan menyalahkanku.  Kupandang langit sekali lagi “dasar jangkrik bodoh” teriakku keras hingga membuat si jangkrik terdiam. Segera kubergegas dari tempat itu “Hai Randi, tunggu!” suara itu seketika menghentikan langkahku dan kujumpai sosok yang begitu familiar bagiku. “Ini kamu pasti kedinginan” dibalutkannya jaket padaku yang memberi ketenangan dan kehangatan pada malam itu, lalu ia bergegas pergi dengan senyuman yang mengundang air mataku. “Jangan !” teriakku terbangun dari khayalan ilusi tidur. Lagi, bunga tidur itu datang lagi padaku. Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 08.30. “Aduh, aku harus cepat !” gumamku dalam hati.
***
            “Randi Febriansya Putra” akhirnya namaku terpanggil. Ya, sekarang aku telah menjadi seorang Dokter. “Selamat anakku, abangmu pasti bangga dengan semua ini” ujar ayahku dengan peluk hangat. Air bening itu akhirnya keluar tapi kuusahakan agar kembali masuk, sebab tak sepantasnya dia keluar pada saat aku telah mencapai puncak hidupku ini. “Kok nangis dok, selamat ya dokterku”kata Feny itu sekejap mengejutkkanku. Sudah sangat lama kami tidak bertemu dan tenyata dia hadir diacara wisudahku. Lalu kupeluk ia, kuluapkan kerinduan yang selama ini aku pendam. Sesampai dirumah kubuka album keluarga sambil tersenyum sekaligus menangis. Teringat masa saat kami masih utuh. Masih ada ibu dan saudara kembarku.
***
            “Randa, Randi, bangun sudah pagi! Mandi kemudian sarapan” suara lembut itu seketika membangunkan kami berdua. Aku pergi mandi dan abang merapikan tempat tidur. Ya, kami kembar. Randa lima belas menit lebih awal melihat dunia ketimbang diriku. Kami sekarang menginjak usia sembilan belas tahun. Kami memang bak pinang dibelah dua. Kepribadian kamipun sama, bahkan ketika SD kami pernah bertukar peran selama sehari. Hal itu tak satu orangpun yang menyadarinya bahkan kedua oranng tua kami. Walaupun kami bak pinang yang dibelah dua, namun kami punya selera yang berbeda. Abang suka sekali dengan budaya daerah seperti randai, pacu jalur dll. Tapi kalau aku oposisinya abang. Aku lebih memilih menjadi kutu buku ketimbang menjadi kayak gituan. Karena hal itulah ayah memutuskan untuk menguliahkanku.  Abang mengerti akan keinginan ayah dan mendukung penuh putusan itu begitupun ibu. Bulan depan aku akan berangkat, tapi berat rasanya berpisah dengan mereka semua terlebih ibu, beliau sedang sakit-sakitan. “Sudahlah, biar abang yang jaga ayah dan ibu disini, kamu fokus belajar saja”kata itu sekejap membuat kutenang dan yakin untuk pergi.
***
            Satu tahun sudah aku kuliah dan tak pulang, dan tak satu orangpun yang tahu apa yang aku lakukan disini. Tapi kudengar semua baik-baik saja. Apalagi abang, terkabar abang jadi anak pacuan jalur desa kami. Itu tergambar jelas dari tiga lembar kertas ukuran 5R dan sejumlah uang yang dikirimkan abang. Akhir semester 2 ini aku berniat untuk pulang kampung. Jujur aku sebenarnya takut untuk pulang, tapi dengan nilai yang aku punya ini aku yakin keluargaku akan bangga padaku.
            Waktu yang kunantipun akhirnya tiba, aku pulang, tapi sambutan untuk kepulanganku tak seperti yang terlintas dibenakku. Semua memandangiku dengan cucuran air mata, aku semakin terheran. Ditambah sambutan abang yang tidak biasa. Abang berlutut pada kakiku “maafkan abang ndi, abang yang salah, silakan kamu hukum abang!” dengan tangis terisak-isak. “ Bang,kenapa ini?” aku tambah heran dan memegang bahu seraya membangunkan abang agar bediri. Kembali dipeluknyaku dan menangis serta mengatakan kaliamat yang sama. “Ibu meninggal ndi”terhenyak aku mendengar itu dan tak bisa berkata apa-apa. Kulepaskan pelukkan abang dan menuju dalam rumah. Dengan harapan semua ini mimpi aku mencoba melangkahkan kaki. Tapi kaki ini terasa berat. Kupandang teras rumah dan kulihat ibu melambaikan tangannya padaku. Siap menyambutku dengan pelukkannya. “Ibu…”bibir ini spontan memanggilnya. Aku seperti bayi yang merangkak menuju ibunya. Ingin dicium, dibelai, dan dimanjanya. Tiba-tiba abang membimbingku untuk masuk, tapi kudorong dia. “Jangan bang! Biar Randi yang menyerahkan nilai ini pada ibu, Randi mau ibu jadi orang pertama yang tersenyum melihat hasil kerja keras Randi selama ini” pintaku seraya mengeluarkan secarik kertas. Aku merangkak lagi. “Sudah Ndi, ibu udah nggak ada. Kamu jangan seperti ini, maafkan abang”. Takku hiraukan suara disekitar, kucoba untuk berdiri dan perlahan berjalan lagi hingga aku berhasil sampai disamping ibu. “ Ibu, ibu, Randi pulang bu, Randi udah kembali. Ini nilai ujian Randi 2 semester. Ibu dulu bilangkan mau masak makanan kesukaan Randi kalau Randi bisa dapat nilai bagus. Ibu, bohong! Haha… ibu pura-pura tidurkan? Bangun bu, bangun, ibuuuu... kalau ibu nggak bangun Randi nggak mau ngomong lagi sama ibu!” aku berusaha membangunkan ibu. Tapi akhirnya aku menyerah, ibuku memang telah tiada, kukecup kening serta kedua belah pipinya dan berbisik ketelinganya “Randi sayang ibu, Randi cinta ibu” kembali kukecup keningnya.
***
            “Randi, bangun udah pagi ayo sarapan!”suara itu mengingatkanku pada ibu. “Ibu…”bergegasku bangkit dari kasur yang tipis itu dan berjalan kedapur dengan mata yang masih lebam. Tak seorangpun yang aku jumpai. Kembali kumenuju kamar. Aku merasa ada yang memperhatikanku, tapi tak satu orangpun yang aku jumpai dirumah kecil ini. Sekitar jam 9 abang datang dengan membawa sebungkus nasi. “Ini kamu pasti belum makan kan? Maaf abang tadi pergi sebentar ada urusan”diberikannya bungkusan itu. “ayo diamakan” ujarnya, aku makan nasi itu dan tak sepatah katapun yang keluar dari mulut ini. Selama satu minggu aku bagitu, abang mengerti apa yang aku rasakan. Dia tak banyak bicara padaku, datang dengan nasi kemudian hilang lagi kemudain datang lagi dengan nasi. Ntah apa yang abang kerjakan bersama ayah. Besok aku harus berangkat, tapi tak sedikitpun niatku untuk kembali ketempat yang hiruk pikuk itu, ya aku lebih menikmati ketenangan yang kuperoleh disini.
            “Bang, Randi udah nggak mau lagi kuliah”ujarku dengan datar. “Apa? Jadi apa gunanya kamu kuliah selama ini?”bentak ayah dengan nada tinggi. “Tapi Randi udah nggak mau nyusahin ayah sama abang lagi”balasku. “Dasar tak berguna!”geram ayah dan mengayunkan tangannya. “Sudah ayah, biarkan dia memilih abang mengerti dengan perasaan adik, besok abang akan merantau untuk mencari uang dan kita bisa melanjutkan kuliah adik”spontan tangan abang.***
            Keesokan harinya abang berangkat ke kota dengan bekal seadanya, berbalut kemeja kotak, celana jeans serta tiga lembar uang 20 ribu didompetnya. Waktu terus berlalu,wajahku kini telah dihiasi rambut yang mulai tumbuh disekitar mulutku. Ya, setahun sudah abang pergi. Dan setiap bulannya ia selalu mengirimkan uang untukku dan ayahku serta nomor telepon tempatnya bekerja. Terlintas dibenakku apa yang abang kerjakan dikota. “Ah… tidak mungkin itu, abang bukan orang seperti itu” kubuang khayalanku jauh-jauh.
Saat malam menyapa, kupandangi langit hampa tak ada satupun bintang dan bulan  yang menerangi, yang ada hanya kunag-kunang yang berpijar indah disana. Lagi, pikiranku kembali melayang pada sosok yang jauh dimata, “abang”gumamku. Ia berusaha keras untuk menghidupi keluarga kami. Terutama untuk kuliahku. Keluargaku memang tak terlalu kaya apa-apa, keluarga kecil yang hanya dipandang sebelah mata. Aku tersadar dan menyesal apa yang aku lakukan selama ini, kusia-siakan perjalanan hidupku, kusia-siakan umurku, kusia-siakan kerja keras keluargaku, membiarkan semua berlalu begitu saja. “Tidak, aku tak boleh seperti ini terus, abang tunggu Randi!”ujarku dengan semangat.
***
Hari minggu yang cerah aku terbangun dengan suasana hati yang lebih baik. Ya, aku merasa telah kembali seperti Randi dulu, yang siap menantang hari. “Ayah, ayah nggak apa-apa sendirian dirumah?” tanyaku seraya menatap matanya yang enggan melepasku. “Sudah anakku, jemput abangmu ayah ingin kita berkumpul seperti dulu lagi” jawabnya dengan tegar. Mobil yang akan membawaku menemui abang telah tiba. Sekali lagi aku pamit pada ayah dan mencium tangannya, “hati-hati anakku” ujar ayah sambil melambaikan tangannya melepas kepergianku.
Sesampainya dikota, aku berniat untuk menghubingi nomor telepon yang pernah dikirimkan abang. Kulangkahkan kaki menuju sebuah warteg yang tak jauh dari tempatku berdiri. Langsung kutekan nomor yang tertera pada secarik kertas itu. “Halo”jawab seseorang yang takku kenal “halo, maaf pak saya Randi….” “Oh… Randi, apa kabar ? Kapan mau kesini lagi?”potong bapak itu dengan suara keras. Aku terkejut apa maksud bapak ini, dan siapa dia. “maaf pak saya baru datang dari kampong”jawabku, “Oh… baik saya mengerti dimana kamu sekarang biar saya suruh supir jemput kamu” aku semakin terheran dibuatnya. 15 menit kemudian mobil silver berhenti didepanku dan keluar sesosok laki-laki berbadan tegap berjalan menghampiriku. “Mas Randi”sahutnya “mari ikut kami”. Aku semakin tak mengerti dengan semua ini. aku dibawah kesebuah rumah yang sangat besar, atau mungkin sebuah istana.
Aku terkejut, bak tamu besar sebuah kerajaan dihidangkan makanan yang sangat banyak untukku mungkin cukup untuk makanku seminggu lengkap dengan pengawal dan dayang-dayangnya. Tak lama kemudain keluarlah seorang pria yang sudah tua yang menunggangi kursi roda. “Nak Randi… apa kabar?”ujarnya “maaf anda siapa?”tanyaku. Seketika suasana menjadi tegang. Lalu datanglah seorang gadis “Bang Randi!” suara itu seketika mencairkan suasana. Sambil makan lama kami berbincang bertiga. Dan ternyata baru kusadari bahwa selama ini abang telah menyamar sebagai diriku. Dia menyelamatkan gadis yang bernama Feny yang tak lain cucu satu-satunya pria itu. Pak Bram panggilannya. Bang Randalah yang telah menyelamatkan Feny dari percobaan pembunuhan 9 bulan yang lalu. Akupun menceritakan siapa jati diri abang sebenarnya. Sekali lagi, kekagumanku bertambah pada abang. ia tak mau menerima uang dari Pak Bram sebagi tanda terima ksaih telah menyelamatkan Feny. Lama sekali kami berincang Tak terasa matahari mulai hilang. Aku berniat untuk pamit pada  Pak Bram dan Feny, tapi mereka memintaku untuk tetap tinggal hingga besok.
***
Keesokkan harinya aku berniat kembali mencari abang, dan aku pamit pada keluarga Pak Bram. Namun sebelum aku pergi Feny memberiku sebuah kertas dan dimintanya untuk membacanya di perjalanan nanti. Dalam perjalanan aku penasaran apa yang dituliskan gadis cantik itu. Kubuka kertas tadi, “Bang Randi, Feny udah narok Handphone dalam tas abang. Kalau ada yang bisa Feny bantu hubungi saja” aku terkaget membaca kertas itu, dan langsung kuperiksa tas. Memang benar ada sebuah handphone. Aku tersenyum melihatnya setidaknya ada yang bisa kuhubungi.
Aku memutuskan naik bajaj untuk mencari abang. Ntah pikiranku yang sedang kacau atau memang benar. Aku seperti melihat abang di FK tempatku kuliah dulu. Namun takku hiraukan. “hhm… aku butuh istirahat, pikiranku mulai tak karuan”gumamku. Aku berhenti disebuah kedai pinggir jalan. Dan memesan air putih dan gula. Ya itu hanya sanggup aku beli, ntah sampai kapan pencarian ini akan berakhir, jadi aku harus pandai-pandai mengelolah uangku.
Teriknya matahari membuat suasana menjadi sangat panas, kupandangi seorang pemuda diseberang jalan yang sedang mengais rizeki dengan sekumpulan Koran ditangannya. “Abang” kembali pikiranku tertuju padanya. Kudengar seperti ada yang bebunyi dalam tasku. Ya, handphone Feny tadi berbunyi. Kuambil dan kuangkat “Halo”ujarku, tenyata ang menelpon adalah Feny. Dia ingin mengabarkan bahwa ia akan ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Pada saat itu juga ia mengatakan suatu hal yang tak pernah terbayangkan olehku. Ntah apa yang ada dipikirannya aku hanya diam menerima semua ini.
***
Lima hari sudah aku berada dikota ini, tapi sampai sekarang aku masih belum menemukan abang. Aku memutuskan pergi ke FK ku dulu. Terdengar kabar ada seleksi beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Fakultas tersebut hingga lulus. Dan semua mahasiswa diperbolehkan untuk ikut seleksi tersebut. Sesampainya di Fakultas itu semangatku untuk kembali kuliah muncul lagi. Aku menyadari bahwa semua yang aku lakukan selama ini adalah salah. Tapi apalah arti sebuah penyesalan nasi telah menjadi bubur. Aku melanjutkan pencarianku. Dan lagi hari ini aku tak bisa menemukan abang. Aku merasa putus asa, dari pada aku berjalan tanpa tujuan seperti ini dan membiarkan ayah dirumah sendiri akhirnya besokkuputuskan untuk pulang. Ya, dikampung aku bisa membantu ayah dan menunggu sampai abang pulang. Dan untuk malam ini aku putuskan untuk tidur di masjid tak jauh dari Fakultas td.
***
Keesokkan harinya aku terbangun karena suara kaki melangkah. “Hai, tunggu!” kupanggil pemuda itu namun dia tak menghiraukanku. Sepertinya dia sedang terburu-buru. Kupandang jam dinding ternyata sudah pukul 10.00. Aku berkemas dan bersiap-siap untuk pulang. “Randi, selamat ya…! Kamu memang pantas mendapatkannya”seorang pria datang padaku. “Randi? Dia pasti abang”gumamku. “Maaf, bisakah kau mengantarku kekosan Abang, maksud saya Randi? Nanti akan kuceritakan semua”pinta dan menarik tangan pemuda tersebut dan pergi dari masjid itu. “Kita gunakan motorku saja”ujar pemuda itu, Enda panggilannya. Dalam perjalanan menuju kos abang aku mencerita semuanya pada Enda. Ternyata abang selama ini telah menyamar sebagai diriku. Sesampai dikosan kami tak menjumpai seorangpun. “Cari siapa? Tanya ibu-ibu, mungkin ibu pemilik kosan itu. Kami bergegas menuju terminal sesuai yang disampaikan Ibu tadi.
“Itu dia abang!”ujarku sambil melambaikan tangan pada seorang pemuda yang sedang menyeberangi jalan. Hatiku sangat gembira melihatnya dalam keadaan baik-baik saja. Saatku berniat menghampirinya, sesuatu yang tek terdugapun terjadi. “Abang!”pekikku. Aku menghampiri abang yang tergeletak dijalan, badannya terpental sejauh 2 meter dari tempatnya berdiri, kemeja kotak yang ia gunakan berubah warna. Tidak ini tak mungkin. Aku berlari menujunya. “Randi, syukurlah kami sehat-sehat saja. Ini, (Ia menyerahkan sebuah map) maaf hanya ini yang bisa abang berikan, abang tak punya cukup uang untuk membiayaimu kuliah, maafkan abang! sampaikan salam abang pada ayah”ucapnya dengan susah payah. “Abang, apa yang abang katakan, abang pasti akan selamat kami akan membawa abang kerumah sakit”balasku “Randi, abang menyayangimu lebih dari diri abang sendiri”ditariknya tanganku dan dikecupnya keningku seraya mengatakan “Jadilah dokter! Dan jika kamu sukses nanti bahagiakan ayah, ajak beliau naik haji”. Itulah pesan terakhir yang abang sampaikan sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya di pelukkanku.
***
Dengan map peninggalan terkhir abang, sekarang aku telah menepati satu janjiku pada abang. Ya, sekarang aku adalah Dokter Randi Febriansya Putra. Dan minggu depan aku akan menikah dengan Feny, sesuai dengan wasiat yang kekeknya yang Feny sampaikan 3 tahun yang lalu sebelum Feny berangkat ke AS. Ya, kakeknya meninggal sesaat setelah aku pergi dari rumahnya karena jantung kambuh. Kami memang saling mencintai walaupun hanya beberapa jam kebersamaan yang hadir antara kami.
Tiga tahunpun berlalu, kini aku telah meliliki seorang anak yang kuberi nama Randa Febriansya Putra. Ya, sebuah nama yang mirip dengan namaku. Tak hanya mirip itulah nama abangku. Nama itu kuberikan sebagai penghargaan dan tanda maafku untuk abang. Kini kami telah menjadi keluarga yang bahagia, ayahpun kini telah menginjak baitullah, hal yang selama ini yang diangan-angankannya. Dan janji pada abangpun telah ku lakukan. Semoga apa yang aku lakukan ini bisa membuatnya bangga dan memaafkan kesalahanku selama ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger