“Janjiku”
(Karya:Muhammad Rahman)
Langit
begitu gelap, malampun terasa sunyi. Disekitarku hanya segerombolan jangkrik
yang suaranya begitu keras, berteriak dan mengejekku seakan menyalahkanku. Kupandang langit sekali lagi “dasar jangkrik
bodoh” teriakku keras hingga membuat si jangkrik terdiam. Segera kubergegas
dari tempat itu “Hai Randi, tunggu!” suara itu seketika menghentikan langkahku
dan kujumpai sosok yang begitu familiar bagiku. “Ini kamu pasti kedinginan”
dibalutkannya jaket padaku yang memberi ketenangan dan kehangatan pada malam
itu, lalu ia bergegas pergi dengan senyuman yang mengundang air mataku. “Jangan
!” teriakku terbangun dari khayalan ilusi tidur. Lagi, bunga tidur itu datang
lagi padaku. Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 08.30. “Aduh, aku harus
cepat !” gumamku dalam hati.
***
“Randi Febriansya Putra” akhirnya namaku
terpanggil. Ya, sekarang aku telah menjadi seorang Dokter. “Selamat anakku,
abangmu pasti bangga dengan semua ini” ujar ayahku dengan peluk hangat. Air
bening itu akhirnya keluar tapi kuusahakan agar kembali masuk, sebab tak
sepantasnya dia keluar pada saat aku telah mencapai puncak hidupku ini. “Kok
nangis dok, selamat ya dokterku”kata Feny itu sekejap mengejutkkanku. Sudah
sangat lama kami tidak bertemu dan tenyata dia hadir diacara wisudahku. Lalu
kupeluk ia, kuluapkan kerinduan yang selama ini aku pendam. Sesampai dirumah
kubuka album keluarga sambil tersenyum sekaligus menangis. Teringat masa saat
kami masih utuh. Masih ada ibu dan saudara kembarku.
***
“Randa,
Randi, bangun sudah pagi! Mandi kemudian sarapan” suara lembut itu seketika membangunkan
kami berdua. Aku pergi mandi dan abang merapikan tempat tidur. Ya, kami kembar.
Randa lima belas menit lebih awal melihat dunia ketimbang diriku. Kami sekarang
menginjak usia sembilan belas tahun. Kami memang bak pinang dibelah dua.
Kepribadian kamipun sama, bahkan ketika SD kami pernah bertukar peran selama
sehari. Hal itu tak satu orangpun yang menyadarinya bahkan kedua oranng tua
kami. Walaupun kami bak pinang yang dibelah dua, namun kami punya selera yang
berbeda. Abang suka sekali dengan budaya daerah seperti randai, pacu jalur dll.
Tapi kalau aku oposisinya abang. Aku lebih memilih menjadi kutu buku ketimbang
menjadi kayak gituan. Karena hal itulah ayah memutuskan untuk
menguliahkanku. Abang mengerti akan
keinginan ayah dan mendukung penuh putusan itu begitupun ibu. Bulan depan aku
akan berangkat, tapi berat rasanya berpisah dengan mereka semua terlebih ibu,
beliau sedang sakit-sakitan. “Sudahlah, biar abang yang jaga ayah dan ibu
disini, kamu fokus belajar saja”kata itu sekejap membuat kutenang dan yakin
untuk pergi.
***
Satu tahun sudah aku kuliah dan tak
pulang, dan tak satu orangpun yang tahu apa yang aku lakukan disini. Tapi
kudengar semua baik-baik saja. Apalagi abang, terkabar abang jadi anak pacuan
jalur desa kami. Itu tergambar jelas dari tiga lembar kertas ukuran 5R dan
sejumlah uang yang dikirimkan abang. Akhir semester 2 ini aku berniat untuk
pulang kampung. Jujur aku sebenarnya takut untuk pulang, tapi dengan nilai yang
aku punya ini aku yakin keluargaku akan bangga padaku.
Waktu yang kunantipun akhirnya tiba,
aku pulang, tapi sambutan untuk kepulanganku tak seperti yang terlintas
dibenakku. Semua memandangiku dengan cucuran air mata, aku semakin terheran. Ditambah
sambutan abang yang tidak biasa. Abang berlutut pada kakiku “maafkan abang ndi,
abang yang salah, silakan kamu hukum abang!” dengan tangis terisak-isak. “
Bang,kenapa ini?” aku tambah heran dan memegang bahu seraya membangunkan abang
agar bediri. Kembali dipeluknyaku dan menangis serta mengatakan kaliamat yang
sama. “Ibu meninggal ndi”terhenyak aku mendengar itu dan tak bisa berkata
apa-apa. Kulepaskan pelukkan abang dan menuju dalam rumah. Dengan harapan semua
ini mimpi aku mencoba melangkahkan kaki. Tapi kaki ini terasa berat. Kupandang
teras rumah dan kulihat ibu melambaikan tangannya padaku. Siap menyambutku
dengan pelukkannya. “Ibu…”bibir ini spontan memanggilnya. Aku seperti bayi yang
merangkak menuju ibunya. Ingin dicium, dibelai, dan dimanjanya. Tiba-tiba abang
membimbingku untuk masuk, tapi kudorong dia. “Jangan bang! Biar Randi yang
menyerahkan nilai ini pada ibu, Randi mau ibu jadi orang pertama yang tersenyum
melihat hasil kerja keras Randi selama ini” pintaku seraya mengeluarkan secarik
kertas. Aku merangkak lagi. “Sudah Ndi, ibu udah nggak ada. Kamu jangan seperti
ini, maafkan abang”. Takku hiraukan suara disekitar, kucoba untuk berdiri dan
perlahan berjalan lagi hingga aku berhasil sampai disamping ibu. “ Ibu, ibu, Randi
pulang bu, Randi udah kembali. Ini nilai ujian Randi 2 semester. Ibu dulu
bilangkan mau masak makanan kesukaan Randi kalau Randi bisa dapat nilai bagus.
Ibu, bohong! Haha… ibu pura-pura tidurkan? Bangun bu, bangun, ibuuuu... kalau
ibu nggak bangun Randi nggak mau ngomong lagi sama ibu!” aku berusaha
membangunkan ibu. Tapi akhirnya aku menyerah, ibuku memang telah tiada, kukecup
kening serta kedua belah pipinya dan berbisik ketelinganya “Randi sayang ibu,
Randi cinta ibu” kembali kukecup keningnya.
***
“Randi, bangun udah pagi ayo
sarapan!”suara itu mengingatkanku pada ibu. “Ibu…”bergegasku bangkit dari kasur
yang tipis itu dan berjalan kedapur dengan mata yang masih lebam. Tak
seorangpun yang aku jumpai. Kembali kumenuju kamar. Aku merasa ada yang
memperhatikanku, tapi tak satu orangpun yang aku jumpai dirumah kecil ini.
Sekitar jam 9 abang datang dengan membawa sebungkus nasi. “Ini kamu pasti belum
makan kan? Maaf abang tadi pergi sebentar ada urusan”diberikannya bungkusan
itu. “ayo diamakan” ujarnya, aku makan nasi itu dan tak sepatah katapun yang
keluar dari mulut ini. Selama satu minggu aku bagitu, abang mengerti apa yang
aku rasakan. Dia tak banyak bicara padaku, datang dengan nasi kemudian hilang
lagi kemudain datang lagi dengan nasi. Ntah apa yang abang kerjakan bersama
ayah. Besok aku harus berangkat, tapi tak sedikitpun niatku untuk kembali
ketempat yang hiruk pikuk itu, ya aku lebih menikmati ketenangan yang kuperoleh
disini.
“Bang, Randi udah nggak mau lagi
kuliah”ujarku dengan datar. “Apa? Jadi apa gunanya kamu kuliah selama
ini?”bentak ayah dengan nada tinggi. “Tapi Randi udah nggak mau nyusahin ayah
sama abang lagi”balasku. “Dasar tak berguna!”geram ayah dan mengayunkan
tangannya. “Sudah ayah, biarkan dia memilih abang mengerti dengan perasaan
adik, besok abang akan merantau untuk mencari uang dan kita bisa melanjutkan
kuliah adik”spontan tangan abang.***
Keesokan harinya abang berangkat ke
kota dengan bekal seadanya, berbalut kemeja kotak, celana jeans serta tiga
lembar uang 20 ribu didompetnya. Waktu terus berlalu,wajahku kini telah dihiasi
rambut yang mulai tumbuh disekitar mulutku. Ya, setahun sudah abang pergi. Dan
setiap bulannya ia selalu mengirimkan uang untukku dan ayahku serta nomor
telepon tempatnya bekerja. Terlintas dibenakku apa yang abang kerjakan dikota.
“Ah… tidak mungkin itu, abang bukan orang seperti itu” kubuang khayalanku
jauh-jauh.
Saat
malam menyapa, kupandangi langit hampa tak ada satupun bintang dan bulan yang menerangi, yang ada hanya kunag-kunang
yang berpijar indah disana. Lagi, pikiranku kembali melayang pada sosok yang
jauh dimata, “abang”gumamku. Ia berusaha keras untuk menghidupi keluarga kami.
Terutama untuk kuliahku. Keluargaku memang tak terlalu kaya apa-apa, keluarga
kecil yang hanya dipandang sebelah mata. Aku tersadar dan menyesal apa yang aku
lakukan selama ini, kusia-siakan perjalanan hidupku, kusia-siakan umurku,
kusia-siakan kerja keras keluargaku, membiarkan semua berlalu begitu saja.
“Tidak, aku tak boleh seperti ini terus, abang tunggu Randi!”ujarku dengan
semangat.
***
Hari
minggu yang cerah aku terbangun dengan suasana hati yang lebih baik. Ya, aku
merasa telah kembali seperti Randi dulu, yang siap menantang hari. “Ayah, ayah
nggak apa-apa sendirian dirumah?” tanyaku seraya menatap matanya yang enggan
melepasku. “Sudah anakku, jemput abangmu ayah ingin kita berkumpul seperti dulu
lagi” jawabnya dengan tegar. Mobil yang akan membawaku menemui abang telah
tiba. Sekali lagi aku pamit pada ayah dan mencium tangannya, “hati-hati anakku”
ujar ayah sambil melambaikan tangannya melepas kepergianku.
Sesampainya
dikota, aku berniat untuk menghubingi nomor telepon yang pernah dikirimkan
abang. Kulangkahkan kaki menuju sebuah warteg yang tak jauh dari tempatku
berdiri. Langsung kutekan nomor yang tertera pada secarik kertas itu. “Halo”jawab
seseorang yang takku kenal “halo, maaf pak saya Randi….” “Oh… Randi, apa kabar
? Kapan mau kesini lagi?”potong bapak itu dengan suara keras. Aku terkejut apa
maksud bapak ini, dan siapa dia. “maaf pak saya baru datang dari
kampong”jawabku, “Oh… baik saya mengerti dimana kamu sekarang biar saya suruh
supir jemput kamu” aku semakin terheran dibuatnya. 15 menit kemudian mobil
silver berhenti didepanku dan keluar sesosok laki-laki berbadan tegap berjalan
menghampiriku. “Mas Randi”sahutnya “mari ikut kami”. Aku semakin tak mengerti
dengan semua ini. aku dibawah kesebuah rumah yang sangat besar, atau mungkin
sebuah istana.
Aku
terkejut, bak tamu besar sebuah kerajaan dihidangkan makanan yang sangat banyak
untukku mungkin cukup untuk makanku seminggu lengkap dengan pengawal dan
dayang-dayangnya. Tak lama kemudain keluarlah seorang pria yang sudah tua yang
menunggangi kursi roda. “Nak Randi… apa kabar?”ujarnya “maaf anda
siapa?”tanyaku. Seketika suasana menjadi tegang. Lalu datanglah seorang gadis
“Bang Randi!” suara itu seketika mencairkan suasana. Sambil makan lama kami
berbincang bertiga. Dan ternyata baru kusadari bahwa selama ini abang telah
menyamar sebagai diriku. Dia menyelamatkan gadis yang bernama Feny yang tak
lain cucu satu-satunya pria itu. Pak Bram panggilannya. Bang Randalah yang
telah menyelamatkan Feny dari percobaan pembunuhan 9 bulan yang lalu. Akupun
menceritakan siapa jati diri abang sebenarnya. Sekali lagi, kekagumanku
bertambah pada abang. ia tak mau menerima uang dari Pak Bram sebagi tanda
terima ksaih telah menyelamatkan Feny. Lama sekali kami berincang Tak terasa
matahari mulai hilang. Aku berniat untuk pamit pada Pak Bram dan Feny, tapi mereka memintaku
untuk tetap tinggal hingga besok.
***
Keesokkan
harinya aku berniat kembali mencari abang, dan aku pamit pada keluarga Pak
Bram. Namun sebelum aku pergi Feny memberiku sebuah kertas dan dimintanya untuk
membacanya di perjalanan nanti. Dalam perjalanan aku penasaran apa yang
dituliskan gadis cantik itu. Kubuka kertas tadi, “Bang Randi, Feny udah narok
Handphone dalam tas abang. Kalau ada yang bisa Feny bantu hubungi saja” aku
terkaget membaca kertas itu, dan langsung kuperiksa tas. Memang benar ada
sebuah handphone. Aku tersenyum melihatnya setidaknya ada yang bisa kuhubungi.
Aku
memutuskan naik bajaj untuk mencari abang. Ntah pikiranku yang sedang kacau
atau memang benar. Aku seperti melihat abang di FK tempatku kuliah dulu. Namun
takku hiraukan. “hhm… aku butuh istirahat, pikiranku mulai tak karuan”gumamku.
Aku berhenti disebuah kedai pinggir jalan. Dan memesan air putih dan gula. Ya
itu hanya sanggup aku beli, ntah sampai kapan pencarian ini akan berakhir, jadi
aku harus pandai-pandai mengelolah uangku.
Teriknya
matahari membuat suasana menjadi sangat panas, kupandangi seorang pemuda
diseberang jalan yang sedang mengais rizeki dengan sekumpulan Koran
ditangannya. “Abang” kembali pikiranku tertuju padanya. Kudengar seperti ada
yang bebunyi dalam tasku. Ya, handphone Feny tadi berbunyi. Kuambil dan
kuangkat “Halo”ujarku, tenyata ang menelpon adalah Feny. Dia ingin mengabarkan
bahwa ia akan ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Pada saat itu juga ia
mengatakan suatu hal yang tak pernah terbayangkan olehku. Ntah apa yang ada
dipikirannya aku hanya diam menerima semua ini.
***
Lima
hari sudah aku berada dikota ini, tapi sampai sekarang aku masih belum
menemukan abang. Aku memutuskan pergi ke FK ku dulu. Terdengar kabar ada
seleksi beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Fakultas tersebut hingga lulus. Dan
semua mahasiswa diperbolehkan untuk ikut seleksi tersebut. Sesampainya di
Fakultas itu semangatku untuk kembali kuliah muncul lagi. Aku menyadari bahwa
semua yang aku lakukan selama ini adalah salah. Tapi apalah arti sebuah
penyesalan nasi telah menjadi bubur. Aku melanjutkan pencarianku. Dan lagi hari
ini aku tak bisa menemukan abang. Aku merasa putus asa, dari pada aku berjalan
tanpa tujuan seperti ini dan membiarkan ayah dirumah sendiri akhirnya
besokkuputuskan untuk pulang. Ya, dikampung aku bisa membantu ayah dan menunggu
sampai abang pulang. Dan untuk malam ini aku putuskan untuk tidur di masjid tak
jauh dari Fakultas td.
***
Keesokkan
harinya aku terbangun karena suara kaki melangkah. “Hai, tunggu!” kupanggil
pemuda itu namun dia tak menghiraukanku. Sepertinya dia sedang terburu-buru.
Kupandang jam dinding ternyata sudah pukul 10.00. Aku berkemas dan bersiap-siap
untuk pulang. “Randi, selamat ya…! Kamu memang pantas mendapatkannya”seorang
pria datang padaku. “Randi? Dia pasti abang”gumamku. “Maaf, bisakah kau
mengantarku kekosan Abang, maksud saya Randi? Nanti akan kuceritakan
semua”pinta dan menarik tangan pemuda tersebut dan pergi dari masjid itu. “Kita
gunakan motorku saja”ujar pemuda itu, Enda panggilannya. Dalam perjalanan
menuju kos abang aku mencerita semuanya pada Enda. Ternyata abang selama ini
telah menyamar sebagai diriku. Sesampai dikosan kami tak menjumpai seorangpun.
“Cari siapa? Tanya ibu-ibu, mungkin ibu pemilik kosan itu. Kami bergegas menuju
terminal sesuai yang disampaikan Ibu tadi.
“Itu
dia abang!”ujarku sambil melambaikan tangan pada seorang pemuda yang sedang
menyeberangi jalan. Hatiku sangat gembira melihatnya dalam keadaan baik-baik
saja. Saatku berniat menghampirinya, sesuatu yang tek terdugapun terjadi.
“Abang!”pekikku. Aku menghampiri abang yang tergeletak dijalan, badannya
terpental sejauh 2 meter dari tempatnya berdiri, kemeja kotak yang ia gunakan
berubah warna. Tidak ini tak mungkin. Aku berlari menujunya. “Randi, syukurlah
kami sehat-sehat saja. Ini, (Ia menyerahkan sebuah map) maaf hanya ini yang
bisa abang berikan, abang tak punya cukup uang untuk membiayaimu kuliah,
maafkan abang! sampaikan salam abang pada ayah”ucapnya dengan susah payah.
“Abang, apa yang abang katakan, abang pasti akan selamat kami akan membawa abang
kerumah sakit”balasku “Randi, abang menyayangimu lebih dari diri abang
sendiri”ditariknya tanganku dan dikecupnya keningku seraya mengatakan “Jadilah
dokter! Dan jika kamu sukses nanti bahagiakan ayah, ajak beliau naik haji”.
Itulah pesan terakhir yang abang sampaikan sebelum ia menghembuskan napas
terakhirnya di pelukkanku.
***
Dengan
map peninggalan terkhir abang, sekarang aku telah menepati satu janjiku pada
abang. Ya, sekarang aku adalah Dokter Randi Febriansya Putra. Dan minggu depan
aku akan menikah dengan Feny, sesuai dengan wasiat yang kekeknya yang Feny
sampaikan 3 tahun yang lalu sebelum Feny berangkat ke AS. Ya, kakeknya
meninggal sesaat setelah aku pergi dari rumahnya karena jantung kambuh. Kami
memang saling mencintai walaupun hanya beberapa jam kebersamaan yang hadir
antara kami.
Tiga
tahunpun berlalu, kini aku telah meliliki seorang anak yang kuberi nama Randa
Febriansya Putra. Ya, sebuah nama yang mirip dengan namaku. Tak hanya mirip
itulah nama abangku. Nama itu kuberikan sebagai penghargaan dan tanda maafku
untuk abang. Kini kami telah menjadi keluarga yang bahagia, ayahpun kini telah
menginjak baitullah, hal yang selama ini yang diangan-angankannya. Dan janji
pada abangpun telah ku lakukan. Semoga apa yang aku lakukan ini bisa membuatnya
bangga dan memaafkan kesalahanku selama ini.
0 komentar:
Posting Komentar